Rangkuman Webinar Narasio Data (Big Data Big Insight): "Data Privacy Security di Era Transformasi Digital"
Tugas 018 :
Data Privacy Security di Era Transformasi Digital
Moderator: Olyvia Agnes N.P
Speaker: Abdullah Rasyid
Dalam era ini, data menjadi aset berharga yang digunakan dalam berbagai sektor, mulai dari bisnis hingga pemerintahan. Namun, meningkatnya penggunaan teknologi seperti Big Data, AI, IoT, dan Cloud Computing juga membawa risiko terhadap kebocoran data dan serangan siber. Oleh karena itu, organisasi harus menerapkan strategi keamanan yang komprehensif untuk melindungi data dari ancaman eksternal maupun internal.
Keamanan data mencakup beberapa aspek utama, seperti enkripsi, autentikasi, kontrol akses, dan kepatuhan terhadap regulasi privasi data, seperti GDPR dan UU PDP di Indonesia. Webinar ini juga menyoroti pentingnya edukasi dan kesadaran pengguna dalam mengelola data pribadi secara aman. Dengan menerapkan prinsip Data Privacy Security, perusahaan dan individu dapat meningkatkan ketahanan terhadap ancaman siber serta memastikan integritas dan kepercayaan dalam ekosistem digital yang semakin berkembang.
Pentingnya keamanan siber dalam era Industri 4.0, yang semakin bergantung pada teknologi digital seperti IoT, AI, dan big data. Seiring dengan transformasi digital yang cepat, aspek Data Privacy Security menjadi krusial untuk melindungi informasi sensitif dari ancaman siber. Narasio Data, melalui konsep Big Data Big Insight, menekankan bahwa dalam era digital, data harus tidak hanya dikumpulkan dan dianalisis tetapi juga dijaga keamanannya untuk menghindari kebocoran dan penyalahgunaan.
Keamanan data dalam transformasi digital mencakup beberapa aspek, termasuk enkripsi, autentikasi, dan kepatuhan terhadap regulasi privasi. Dengan meningkatnya ancaman siber, perusahaan dan organisasi perlu menerapkan strategi keamanan yang kuat untuk memastikan integritas dan kerahasiaan data. Keamanan dalam Industri 4.0 bukan hanya tentang perlindungan sistem, tetapi juga membangun kepercayaan dalam ekosistem digital yang semakin terhubung.
"The Challenges", yang mencakup ancaman keamanan seperti serangan siber, pencurian data, kebocoran informasi, serta kepatuhan terhadap regulasi privasi data. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti Big Data, AI, dan IoT, jumlah data yang diproses juga meningkat drastis, membuat perusahaan dan individu lebih rentan terhadap serangan siber. Tantangan lainnya adalah kurangnya kesadaran pengguna, lemahnya sistem keamanan, serta sulitnya mengelola data dalam skala besar. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menerapkan strategi keamanan yang kuat, seperti enkripsi, multi-factor authentication (MFA), monitoring ancaman siber, dan mengikuti regulasi seperti GDPR dan UU PDP agar data tetap aman dan terlindungi.
Konsep CIA Triad (Confidentiality, Integrity, Availability) merupakan fondasi utama dalam keamanan informasi.
-
Confidentiality (Kerahasiaan)
-
Menjamin bahwa data hanya dapat diakses oleh pihak yang berwenang.
-
Diterapkan melalui enkripsi, autentikasi multi-faktor (MFA), dan kontrol akses berbasis peran (RBAC) untuk mencegah akses tidak sah.
-
-
Integrity (Integritas)
-
Memastikan bahwa data tetap akurat, lengkap, dan tidak dimodifikasi tanpa izin.
-
Dapat diterapkan melalui hashing, digital signature, dan audit log untuk mendeteksi perubahan yang tidak sah.
-
-
Availability (Ketersediaan)
-
Memastikan data dan sistem selalu tersedia bagi pengguna yang berhak ketika dibutuhkan.
-
Melibatkan redundansi, backup rutin, dan perlindungan terhadap serangan DDoS untuk menjaga keandalan sistem.
-
Prinsip CIA Triad ini penting dalam menjaga keamanan data di era transformasi digital, terutama dengan meningkatnya ancaman siber dan kebocoran data. Implementasi yang baik akan memastikan sistem informasi tetap aman, andal, dan sesuai regulasi
Terdapat empat jenis serangan yang mengancam keamanan data:
-
Serangan Fisik
-
Menargetkan perangkat keras, seperti pencurian server, perusakan perangkat, atau sabotase fisik pada infrastruktur IT.
-
Contohnya adalah serangan terhadap pusat data atau pencurian perangkat yang berisi informasi sensitif.
-
-
Serangan Logic
-
Menggunakan metode digital untuk mengeksploitasi kelemahan sistem, seperti malware, hacking, dan serangan DDoS.
-
Contohnya adalah ransomware yang mengenkripsi data korban dan meminta tebusan.
-
-
Serangan Informasi
-
Berfokus pada manipulasi atau pencurian data untuk keuntungan tertentu.
-
Contohnya adalah phishing, pencurian identitas, atau penyebaran informasi palsu untuk menyesatkan publik.
-
-
Serangan Budaya
-
Menggunakan pendekatan sosial dan psikologis untuk mempengaruhi individu atau organisasi agar memberikan akses atau informasi sensitif.
-
Contohnya adalah social engineering, di mana penyerang berpura-pura menjadi pihak terpercaya untuk mendapatkan akses data.
-
Memahami jenis serangan ini membantu organisasi dan individu dalam menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih efektif guna melindungi data mereka dari berbagai ancaman.
Security Control berperan penting dalam menjaga keamanan informasi. Mengacu pada standar ISO 27001:2022, terdapat empat kategori pengendalian keamanan:
-
Organizational Controls (37 Kontrol)
-
Meliputi kebijakan, hak akses, pelabelan informasi, dan tanggung jawab organisasi dalam menjaga keamanan data.
-
-
People Controls (8 Kontrol)
-
Berfokus pada pelatihan keamanan, syarat kerja, regulasi kerja jarak jauh, serta proses disiplin untuk meningkatkan kesadaran keamanan pengguna.
-
-
Physical Controls (14 Kontrol)
-
Mencakup keamanan perimeter fisik, pengamanan akses fisik, dan perawatan peralatan guna mencegah akses tidak sah.
-
-
Technological Controls (34 Kontrol)
-
Melibatkan pengelolaan perangkat pengguna, masking data, pencegahan kebocoran data, serta manajemen konfigurasi sistem.
-
Dibandingkan dengan sistem sebelumnya yang memiliki 114 kontrol, pendekatan baru ini telah menyederhanakan jumlah kontrol menjadi 93, sehingga lebih efisien dalam implementasi keamanan informasi.
Perlindungan data pribadi menjadi aspek penting dalam keamanan informasi. Berdasarkan RUU PDP Pasal 4, data pribadi dikategorikan menjadi dua jenis utama:
-
Data Pribadi Spesifik
-
Data dan informasi kesehatan
-
Data biometrik
-
Data genetika
-
Catatan kejahatan
-
Data anak
-
Data keuangan pribadi
-
Data lainnya yang ditentukan oleh regulasi
-
-
Data Pribadi Umum
-
Nama lengkap
-
Jenis kelamin
-
Kewarganegaraan
-
Agama
-
Status perkawinan
-
Data pribadi yang dapat dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang
-
Perlindungan data pribadi ini sangat penting dalam era digital untuk mencegah penyalahgunaan dan menjaga privasi individu.
Salah satu metode utama dalam menjaga keamanan data adalah Data Handling, yang mencakup teknik seperti Data Masking dan Anonymization. Data Masking berfungsi untuk menyembunyikan data asli dengan menggantinya menggunakan karakter lain atau data palsu. Hal ini bertujuan untuk melindungi data sensitif ketika digunakan dalam lingkungan pengujian atau pengembangan, sehingga mengurangi risiko penyalahgunaan informasi. Selain itu, Anonymization menjadi pendekatan lain dalam menjaga privasi data. Metode ini menghapus atau mengaburkan informasi pengenal dari dataset agar data tidak bisa dikaitkan langsung dengan individu tertentu. Teknik ini sering digunakan dalam analisis data ketika identitas asli pengguna tidak boleh terungkap. Dengan demikian, data dapat tetap digunakan untuk berbagai keperluan analisis tanpa mengorbankan privasi pengguna.
Penerapan strategi keamanan data ini menjadi semakin penting seiring dengan meningkatnya ancaman terhadap data pribadi dan organisasi. Dengan adanya pendekatan seperti Data Masking dan Anonymization, perusahaan dapat memastikan bahwa informasi sensitif tetap terlindungi, terutama dalam lingkungan digital yang terus berkembang. Kesadaran akan pentingnya keamanan data ini harus terus ditingkatkan agar transformasi digital dapat berjalan secara aman dan berkelanjutan.
Dalam menjaga keamanan data di era transformasi digital, NIST Cybersecurity Framework memberikan panduan utama dalam melindungi sistem dari ancaman siber. Framework ini terdiri dari lima fungsi utama: Identify, Protect, Detect, Respond, dan Recover. Identify berfokus pada pemahaman terhadap aset, risiko, dan sumber daya yang perlu dilindungi dalam suatu sistem, sehingga organisasi dapat menilai dan mengelola risiko secara efektif.
Langkah berikutnya adalah Protect, yang bertujuan untuk menerapkan langkah-langkah perlindungan guna memastikan sistem tetap aman dari serangan. Setelah itu, Detect berperan dalam mendeteksi potensi ancaman atau aktivitas mencurigakan agar dapat diatasi sebelum berkembang menjadi insiden yang lebih besar. Ketika serangan terjadi, Respond menjadi fungsi penting dalam menangani insiden keamanan dengan strategi mitigasi yang cepat dan tepat guna meminimalisir dampak terhadap sistem. Terakhir, Recover berfokus pada pemulihan sistem setelah mengalami insiden keamanan siber. Fungsi ini bertujuan untuk memastikan bahwa operasional dapat kembali berjalan normal dengan perbaikan yang lebih tangguh agar kejadian serupa tidak terulang. Dengan menerapkan kelima fungsi ini, organisasi dapat meningkatkan ketahanan siber mereka serta memastikan keamanan data tetap terjaga dalam menghadapi berbagai ancaman digital yang terus berkembang.
Framework NIST Privacy & Data Protection (PDP) memberikan pendekatan sistematis dalam menjaga keamanan siber melalui lima tahapan utama: Identify, Protect, Detect, Respond, dan Recover. Tahap Identify berfokus pada pemetaan aset digital yang harus dilindungi, termasuk media sosial, email, marketplace, eMoney, layanan pesan instan, internet banking, dan penyimpanan cloud. Dengan memahami aset digital yang dimiliki, individu dan organisasi dapat lebih siap dalam menghadapi potensi risiko keamanan.
Pada tahap Protect, langkah-langkah perlindungan diterapkan untuk mencegah kebocoran atau penyalahgunaan data. Ini mencakup pengaturan privasi, penggunaan autentikasi dua faktor (2FA/MFA), manajemen kata sandi yang kuat, fitur pelacakan perangkat seperti "Find My Phone", pencadangan data (backup), pengaturan izin akses, penggunaan perangkat lunak antimalware, dan koneksi VPN. Implementasi langkah-langkah ini membantu meningkatkan ketahanan terhadap ancaman keamanan yang terus berkembang.
Tahap Detect bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas mencurigakan yang dapat mengindikasikan adanya pelanggaran keamanan. Ini mencakup pemantauan aktivitas melalui platform seperti "haveibeenpwned", meninjau aktivitas akun secara berkala, memantau login WhatsApp Web, melakukan pemindaian virus, mengaktifkan peringatan keamanan, mengelola perangkat yang terhubung, serta mengenali permintaan mencurigakan yang tidak biasa. Dengan deteksi dini, potensi ancaman dapat ditangani sebelum menimbulkan dampak yang lebih besar. Jika terjadi pelanggaran keamanan, tahap Respond menjadi krusial dalam mengatasi insiden dengan cepat dan efektif. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi mengganti kata sandi, menangani kasus pengambilalihan akun (account takeover), mengumumkan insiden kepada pihak terkait, mencatat kronologi kejadian, mengumpulkan bukti untuk investigasi, dan melaporkan kejadian ke pihak berwenang seperti kepolisian. Respons yang cepat dan tepat dapat meminimalkan kerugian serta mencegah kejadian serupa di masa depan.
Terakhir, tahap Recover memastikan pemulihan sistem dan peningkatan keamanan pasca insiden. Ini mencakup format ulang dan pemulihan perangkat, peningkatan langkah-langkah keamanan, pencadangan data tambahan untuk menghindari kehilangan data di masa depan, serta evaluasi dan pembelajaran dari insiden yang terjadi (lesson learned). Dengan pendekatan ini, individu dan organisasi dapat lebih siap dalam menghadapi ancaman siber serta memastikan privasi dan keamanan data tetap terjaga di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Ancaman Social Engineering terhadap keamanan data pribadi di era transformasi digital. Visual ini menggambarkan Social Engineering sebagai sebuah proses yang melibatkan berbagai taktik manipulasi psikologis untuk mendapatkan akses tidak sah ke informasi sensitif. Elemen-elemen seperti "ACCESS," "LOGIN," "SPYING," "FRAUD," "PASSWORDS," "SECURITY," "PRETEXT," dan "INFLUENCE" divisualisasikan, mengindikasikan berbagai cara yang digunakan pelaku untuk mengeksploitasi kepercayaan dan kelemahan manusia demi mencapai tujuan jahat mereka. seiring dengan meningkatnya digitalisasi dan volume data yang diproses, ancaman terhadap privasi dan keamanan data tidak hanya datang dari serangan teknis. Social Engineering menjadi vektor serangan yang signifikan karena menargetkan sisi manusia dari keamanan. Pelaku kejahatan siber sering kali memanfaatkan rekayasa sosial untuk menipu individu agar memberikan informasi pribadi, kredensial login, atau melakukan tindakan yang membahayakan keamanan data mereka sendiri atau organisasi tempat mereka bekerja.
Oleh karena itu, dalam era transformasi digital ini, strategi keamanan data yang komprehensif tidak hanya berfokus pada implementasi teknologi keamanan yang canggih, tetapi juga pada peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai taktik Social Engineering. Edukasi mengenai berbagai bentuk serangan rekayasa sosial, seperti phishing, pretexting, dan teknik manipulasi lainnya, menjadi krusial untuk memperkuat lapisan pertahanan terhadap ancaman yang memanfaatkan interaksi dan kepercayaan manusia. Dengan demikian, kombinasi antara teknologi keamanan yang kuat dan kesadaran pengguna yang tinggi menjadi kunci untuk melindungi privasi dan keamanan data di era digital.
Contoh nyata dari salah satu taktik Social Engineering, yaitu phishing melalui pesan singkat (SMS) palsu yang mengatasnamakan Bank BCA. Dalam konteks materi "Data Privacy Security di Era Transformasi Digital," visual ini secara konkret mengilustrasikan bagaimana pelaku kejahatan siber memanfaatkan medium komunikasi digital yang umum digunakan untuk mencoba menipu korban agar memberikan informasi pribadi atau melakukan tindakan yang merugikan. Pesan palsu ini menciptakan urgensi dengan memberitahukan bahwa poin transaksi akan segera kadaluarsa dan mengarahkan penerima ke tautan (URL) yang mencurigakan, yang kemungkinan besar merupakan situs palsu yang dirancang untuk mencuri kredensial login atau informasi sensitif lainnya. Keberadaan pesan phishing semacam ini menyoroti kerentanan dalam keamanan data pribadi di era digital. Meskipun teknologi keamanan terus berkembang, pelaku kejahatan sering kali menargetkan sisi manusia melalui manipulasi psikologis. Mereka memanfaatkan kepercayaan, rasa takut kehilangan, atau ketidaktahuan pengguna untuk mendapatkan akses tidak sah ke data. Dalam era transformasi digital, di mana informasi pribadi tersebar luas dan transaksi online semakin umum, kewaspadaan terhadap taktik seperti phishing menjadi sangat penting untuk melindungi diri dari potensi penipuan dan pencurian data.
Contoh lain dari taktik Social Engineering, kali ini berupa upaya penipuan (scam) yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Pajak. Dalam konteks materi "Data Privacy Security di Era Transformasi Digital," visual ini mengilustrasikan bagaimana pelaku kejahatan siber memanfaatkan otoritas dan informasi yang relevan (dalam hal ini, perpajakan) untuk mencoba memanipulasi korban agar memberikan data pribadi atau melakukan tindakan yang menguntungkan pelaku. Pesan teks (SMS) tersebut meminta penerima untuk merevisi dan mengkonfirmasi data diri terkait hak pajak, mencantumkan informasi yang mungkin tampak meyakinkan seperti nama usaha, nomor telepon, email, alamat, NPWP, dan NIK. Dalam era transformasi digital, di mana interaksi antara masyarakat dan lembaga pemerintah semakin banyak dilakukan secara online, penting untuk menyadari bahwa komunikasi resmi dari instansi seperti Direktorat Jenderal Pajak biasanya tidak dilakukan melalui pesan singkat yang meminta konfirmasi data sensitif secara langsung. Taktik ini memanfaatkan ketidaktahuan atau kekhawatiran masyarakat terkait urusan perpajakan untuk mendapatkan informasi pribadi yang kemudian dapat disalahgunakan untuk berbagai tindak kejahatan, termasuk pencurian identitas atau penipuan finansial.
Komentar
Posting Komentar